Kekuatan Cinta: Catatan Harian yang Kreatif Penulis : Sutan Iwan Soekri Munaf


Sinar Hrapan :03.09.2011 08:32
Kekuatan Cinta: Catatan Harian yang Kreatif
Penulis : Sutan Iwan Soekri Munaf 

Apa sebenarnya yang istimewa dari Kekuatan Cinta? Karya pengarang perempuan dari Sumatera Barat ini merupakan catatan harian yang kreatif. 

Apa pasal?
Jika mengingat pendapat Laelasari dan Nurlailah bahwa novel adalah karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku; sesuatu cerita yang fiktif dalam panjang yang tertentu yang melukiskan para tokoh, gerak dan adegan kehidupan nyata yang merupakan representatif suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau; karya fiksi yang menawarkan sebuah dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif yang dibangun melalui berbagai intrinsiknya, seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain yang tentu saja bersifat imajinatif (Kamus Istilah Sastra, 2008: 166-167).

Dalam Kekuatan Cinta, pengarang secara gamblang mengisahkan perjalanan hidup seorang perempuan yang selalu dirundung malang.
Perjalanan hidup lugu seorang perempuan bernama Sastri, yang menikah pada usia 27 tahun dengan seorang lelaki bernama Ara, seniman berstatus duda. Namun ketika putri hasil pernikahan mereka yang bernama Ranti menginjak masa anak-anak, Sas dan Ara bercerai.

Perjalanan hidup Sastri selanjutnya bertemu dengan Da Yal, seorang duda tiga anak. Pertemuan itu berakhir dengan pernikahan. Namun, kebahagiaan yang dirasakan Sastri itu diterpa masalah.
Bermula dari bayi kedua yang dikandungnya keguguran, dilanjutkan Da Yal sang suami ideal diserang virus yang menimbulkan penyakit milieties, melumpuhkan tulang belakang, dan akhirnya meninggal.
Dalam karyanya, pengarang kurang menggarap watak atau karakter tokoh pada narasi adegan maut. Pengarang justru bercerita lewat tuturan dari tokoh Sas, baik itu Ara maupun Da Yal.

Alur cerita datar, walau pengarang mencoba menapak ke "puncak gunung" penderitaan, terutama semenjak Da Yal mulai sakit dan dirawat di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM), hingga meninggal. Namun, penggarapan reka adegan yang harus dilakukan pengarang dalam melahirkan dunia fiksi menjadi realitas, jarang terjadi.
Malah ada kecenderungan memasukkan pikiran-pikiran pengarang yang bersifat opini yang biasa ditulis dalam bentuk esai atau kolom. Narasi berceritanya tidak membangun suasana cerita, karakter, dan penokohan.
Hal ini tampak dalam kutipan berikut.

Menurut aku bagus belum tentu Da Yal suka. Sering bagiku adalah hal biasa, tapi bagi Da Yal luar biasa. Bagiku luar biasa, bagi Da Yal justru biasa-biasa saja. Itulah kehidupan, penuh dinamika. Ada duka ada suka. Ada senang ada marah. Ketika aku marah mulutku tak lagi terontrol, ketika Da Yal marah tak sepatah kata pun lagi yang keluar. Kalau sudah begitu aku jadi pusing setengah mati. (hal 115)
Memang sulit bila pembaca mengharapkan dialog maupun narasi yang ditulis pengarang akan memberikan imajinasi yang mengantarkan visual, sehingga reka adegan menghasilkan karakter para tokoh yang jelas dalam cerita.
Kendati begitu, sebagai catatan harian, Kekuatan Cinta sudah memberi hal yang lebih, karena tidak membosankan, dan banyak informasi diberikan pengarang dalam opini-opininya yang terselip di sana-sini.
Namun, pembaca dituntut memiliki referensi memadai, karena pengarang memasukkan ungkapan-ungkapan atau nama-nama tertentu, dan akan bermakna bila pembaca paham arti ungkapan-ungkapan atau siapa nama-nama tersebut.

Sebagai buku, amat disesali bahwa penyuntingannya berantakan. Kecerobohan penyunting tampak misalnya pada hal 21, yaitu "Karena ketika terbonkar, pada umumnya kebanyakan suami akan memilih istri dan anaknya." Seharusnya kata terbonkar adalah terbongkar.
Pada hal 40, "Sampai suatu saat dalam buku agetidaku". Semestinya kata itu adalah agendaku. Pada hal 53, "Kepalaku tertutup selendang putih yang sebentar-bentar jatuh ke puntidakku." Kata itu seharusnya tertulis pundakku. Begitu juga pada hal 87 tertulis kinik yang seharusnya klinik.
Begitu juga ketidakkonsistenan penulisan nama tokoh Da Yal, tertulis menjadi da Yal, pada hal 186, 187, 194, 224, dan 231. Bahkan pada hal 187 dan 224 terdapat pada satu halaman ketidakkonsistenan ini, pada halaman 178 kita dapat menemukan tulisan Ga Yal.
Sejalan dengan itu, lolos juga dari amatan penyunting, bahwa kata sehingga merupakan kata hubung dari anak kalimat sebelumnya ke anak kalimat sesudahnya. Sebagai kata penghubung antara dua anak kalimat, tidak mungkin kata itu berada di awal kalimat dengan huruf kapital seperti pada halaman 8 dan 68.
Penyunting juga tak paham bahwa kata dalam bahasa Inggris adalah risk dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi risiko. Pengertian kata risk tadi, diloloskan dengan tertulis sebagai resiko.
Sejalan dengan itu, ketidakpahaman penyunting juga terjadi pada hal 29, yaitu: "Lebih baik Sas jatuh masuk jurang, tapi perlahan-lahan naik kembali daripada jatuh masuk ke Bandar meski tidak dalam, lalu diangkat Ara lagi, tapi suatu saat akan dia jatuhkan lagi, ia angkat lagi, jatuhkan lagi, begitu berulang-ulang, itu jauh lebih sakit,” ujar Yanti…
Kata Bandar, dengan huruf kapital seyogianya tak perlu, karena bukan dalam makna pelabuhan (misalnya, Bandar Jakarta, Bandar Udara Tabing, Bandar Teluk Bayur). Seharusnya diberi catatan kaki bahwa kata Bandar itu maksudnya adalah parit atau selokan (lihat hal 29). Pasalnya, bandar adalah ungkapan orang Minangkabau untuk selokan atau parit.

Harus diakui, keberanian pengarang mengungkapkan nama-nama, baik yang terkesan menyanjung atau semacam ungkapan terima kasih pada pejabat di Sumatera Barat, di tempat lain, atau pun yang mengkritik (pada nama institusi seperti RSCM). Jadi, membaca catan harian ini seakan kita membaca laporan jurnalistik feature dengan sentuhan cerita.
Pengarang juga sering mengulang-ulang cerita yang telah dituturkan, tanpa memberi informasi baru, atau memberi efek tersendiri pada pengulangan ceritanya. Antara lain, kisah pertemuan tokoh Sas dengan Da Yal lewat telepon (bandingkan hal 34-35 dengan hal 78-79).

Kendati begitu, terlepas dari kekurangan pada buku ini, Sastri Bakry patut diacungi jempol karena upayanya bereksperimen menuliskan novel dalam bentuk catatan harian.

http://www.sinarharapan.co.id/content/read/kekuatan-cinta-catatan-harian-yang-kreatif/


Terimakasih kepada Bang Iwan Soekri yang telah memberi ijin untuk mempublikasikan tulisan ini dan semoga bisa membantu kawan akwan yang mencari pembelajaran tentang sastra secara online.

salam blogsastra


Comments